Perjanjian Berakhir akibat COVID-19 ?
- Franciskus Xaverius
- May 1, 2020
- 2 min read
Dikatakan bahwa force majeure menjadikan suatu alasan yang kuat untuk berakhirnya suatu perjanjian, dalam hal ini COVID-19 yang dijadikan alasan utamanya.

"Force majeure sendiri terbagi menjadi dua, absolut dan relatif sehingga, tidak secara serta merta semua force majeure dapat di sama ratakan."
Akhir-akhir ini karena keadaan yang belum memungkinkan bagi COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) untuk berakhir, timbulah berbagai spekulasi mengenai hapusnya suatu perjanjian karena COVID-19 karena tergolong dalam Force Majeure.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H., M.H. (selanjutnya disebut sebagai HPH) yang memberikan peringatan ke beberapa Lawyer melalui instagram pribadinya bahwa banyaknya oknum-oknumcorporate lawyer yang mengeluarkan news letter atau opini-opini mengenai Force Majeure atau keadaan memaksa yang membuat banyak perbankan menjadi resah.
Seperti yang kita ketahui bahwa melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 menyatakan bahwa COVID-19 dinyatakan sebagai bencana nasional non-alam. Sehingga dapat dikatakan bahwa COVID-19 merupakan suatu force majeure. Beberapa unsur yang tidak tertuang secara langsung mengenai force majeure di dalam KUHPerdata, yakni:
Suatu peristiwa atau keadaan yang tidak terduga;
Tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada Debitor;
Keadaan tersebut bukan karena kesalahan Debitor;
Force Majeure sendiri dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Absolut, yang merupakan keadaan yang bersifat mutlak yang menyebabkan Debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
2. Relatif, yang merupakan keadaan yang masih memungkinkan Debitor untuk melaksanakan kewajibannya.
Mengapa dikatakan bahwa Perjanjian Dapat berakhir karena Force Majeure ?
Pada dasarnya pengaturan mengenai Force Majeure dapat dilihat pada Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPer. Sebelum membahas Pasal tersebut, ada baiknya jika kita mengetahui mengenai wanprestasi terlebih dahulu, yaitu tidak terpenuhinya suatu prestasi atau kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Intinya, wanprestasi terjadia karena ada hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak tetapi salah satu pihak tidak dapat memenuhinya.
Unsur-unsur wanprestasi yaitu:
Tidak melakukan apa yang diperjanjikan;
Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi lewat waktu;
Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sesuai;
Melakukan apa yang dilarang di dalam perjanjian.
Sehingga bagi Pihak yang dirugikan dapat mengajukan atau meminta ganti rugi, pemenuhan perjanjian & pembatalan perjanjian.
Sedangkan, apabila suatu wanprestasi terjadi oleh karena force majeure atau keadaan memaksa, barulah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPer berlaku. Kecuali Debitur tidak dapat membuktikan bahwa wanprestasi itu akibat dari force majeure.
Kesimpulan
Suatu perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan oleh debitur karena COVID-19 bukan berarti secara serta merta dapat mengakhiri atau membatalkan perjanjian yang dibuat antara mereka.
Perlu kita sadari, meskipun COVID-19 merupakan bencana nasional non-alam, bukan berarti force majeureyang terjadi bersifat absolut, melainkan relatif, sehingga langkah yang bijak untuk menyikap hal tersebut adalah dengan melakukan re-negoisasi mengenai isi perjanjian yang bersangkutan terutama mengenai pemenuhan seperti pengiriman barang hingga pelunasan pembayaran.
Comments